Semangat Mama Mengikat Karaja

Penulis: Rosalia Jola Pedi | Foto: Jefri Davidson Amakia

Semangat Mama Mengikat Karaja

Penulis: Rosalia Jola Pedi | 22 Juni 2022

Saya pernah bertanya pada Mama Leha soal pentingnya sarung dan kain tenun, serta bagaimana generasi berikutnya bisa melanjutkan pengetahuan menenun dan membuat motif Karaja. "Kain dan sarung ini sangat penting buat adat seperti kawin-mawin, saat ada kedukaan, dan saat ada acara-acara ada harus pakai kain (untuk laki-laki) dan sarung (untuk perempuan). Jadi lebih bagus kita bisa buat sendiri daripada kita beli yang sudah jadi karena harganya terlalu mahal. Dan anak-anak berikutnya harus bisa menenun sendiri, karena ini sudah bagian dari adat,” demikian jawab Mama Leha.


Sarung dan kain tenun memang demikian penting dalam adat Sumba, termasuk di Kampung Sodan, lokasi Sokola Sumba. Selain untuk dipakai, kain dan sarung juga digunakan untuk acara perkawinan dan kematian. Dalam acara perkawinan, pihak mempelai laki-laki yang membawa belis (maskawin) hewan seperti kerbau dan kuda akan mendapatkan balasan kain dan sarung dari pihak mempelai perempuan. Jika ada yang kedukaan (kamate), kain dan sarung juga diberikan oleh keluarga sebagai tanda belasungkawa.


Mama Leha adalah salah satu orang tua murid di salah satu kampung tempat kegiatan kami, yaitu di Kampung Tai Ngadu. Mama Leha juga banyak membantu kami ketika berada di Kampung Sodan. Sebagaimana para mama di Sumba, Mama Leha juga menenun kain dan sarung. Bahkan Mama Leha adalah satu-satunya mama yang menguasai cara membuat motif ikat karaja laboya. Pengetahuan ini ia dapatkan dari mamanya sendiri yang sampai sekarang di usianya yang sudah lansia, masih kuat menenun dan masih menguasai cara membuat motif karaja laboya.


Motif karaja merupakan motif tenun khas Laboya, termasuk untuk Kampung Sodan sendiri. Motif ini digunakan untuk sarung yang dipakai perempuan, kain yang dipakai laki-laki, maupun selendang. Motif karaja dibuat dengan cara mengikat benang-benang untuk membentuk bunga-bunga dalam karaja lalu diwarnai. Menurut cerita para mama di Sodan, sekarang sudah jarang yang membuat ikat karaja sendiri. Hampir tidak ada lagi yang tahu membuat ikat. Mereka membeli karaja yang sudah jadi saja di pasar. Memang sudah banyak sekali motif karaja diperjualbelikan di pasar maupun di rumah-rumah orang yang bisa membuat motif ini. Dengan harga Rp35.000,00 sudah mendapatkan satu pasang karaja untuk satu lembar kain yang dipakai laki-laki. Harganya juga tergantung model dari bunga motifnya.


Motif karaja biasanya dibuat menggunakan pewarna dari alam seperti daun wora atau nila yang digunakan untuk pewarna biru indigo atau akar pohon mengkudu untuk warna merah, dan juga menggunakan benang asli dari kapas. Namun, seiring berjalannya waktu, sudah jarang pewarna dari alam dan kapas ini digunakan, digantikan dengan benang tekstil dan pewarna pabrik seperti wantex dari pasar yang mudah didapatkan.






















Pamali


Saat evaluasi bersama warga beberapa waktu lalu, para mama bersepakat untuk mengadakan kelas khusus untuk para mama dan remaja perempuan tentang cara membuat motif ikat karaja laboya. Kain tenun juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi, maka pengembangan kerajinan tenun ini menjadi alternatif untuk meningkatkan ekonomi warga. Termasuk para rato menyepakati itu. Karena semua istri rato pantang untuk membuat motif ikat karaja, maka sangatlah bagus kalau pengetahuan ini diajarkan ke anak-anak perempuan dan mama-mama yang bukan istri rato, agar motif ini tetap lestari. Mama Leha juga setuju untuk membagikan pengetahuannya membuat motif karaja laboya. Kelas belajar ikat karaja ini akhirnya terlaksana pada bulan Mei lalu meski tidak semua mama bisa mengikutinya karena pamali tadi.


"Mama, kita mau rencana buat motif karaja. Mama ikut, e?” tanya saya kepada Mama Tada yang merupakan istri salah satu rato atau pemuka adat di Sodan. "Ee saya tidak bisa, Nona Lia. Saya pamali kalau membuat karaja. Kami di sini istri rato, pamali kalau membuat karaja," demikian jawaban yang saya dapatkan.


Kemudian saya coba mengajak Mama Lida yang juga istri rato untuk memastikan pantangan ini. Ternyata memang benar, semua mama yang merupakan istri rato di Kampung Sodan pantang untuk membuat motif karaja. Begitulah mereka menghormati dan menghargai adat dan budayanya. Maka, yang mengikuti kelas membuat karaja adalah para mama yang bukan istri rato serta remaja perempuan yang sudah pantas untuk menenun. Karena bagi anak perempuan di Kampung Sodan, juga ada penentuan usianya untuk mulai belajar tenun. Mereka pantang untuk menenun sebelum memasuki usia pubertas dan baru dibolehkan menenun kalau sudah mengalami menstruasi.

Mengikat Benang, Membentuk Motif


Selama tiga hari, para mama dan remaja perempuan mengikuti kelas belajar ikat karaja laboya dengan Mama Leha sebagai pengajarnya. Kami bersyukur masih ada yang bisa membuat motif ini dan membagikan pengetahuan ini ke generasi berikutnya agar kearifan lokal ini tidak musnah begitu saja. Inilah yang menjadi tujuan kami mengadakan kelas ini.


Selama mengikuti kegiatan ini, mereka sangat antusias dan semangat, begitu juga Mama Leha sebagai guru tidak kalah semangat mengajari setiap prosesnya. Selain itu ada juga Bapak Pote suami dari mama Leha dan Jefri yang sibuk membuat hamane (alat yang digunakan untuk menyusun benang dalam proses menenun) tambahan. Jadi, ini bukan saja pekerjaan khusus perempuan yang dikerjakan oleh perempuan itu sendiri tetapi juga ada peran laki-laki di sini dan saling membantu.


Mama Leha mulai mengajarkan satu persatu tahapan membuat ikat karaja, mulai dari memasang alat pemaning atau dalam bahasa Laboya disebut doka hamane yang dipasang untuk menyusun benang-benang yang akan diikat karaja. Setelah memasang doka hamane, mama-mama mulai masuk untuk menyusun benang. Setiap satu doka hamane, ada dua orang yang menyusun benang. Ada dua doka hamane yang dipakai belajar, jadi dipakai bergantian. Sambil menunggu, yang lain menyiapkan langatte atau benang-benang yang dipotong sepanjang 4 cm untuk mengikat pemisahan benang yang nantinya akan diikat membentuk bunga karaja. Dalam kelas pertama ini, Mama Leha mengajarkan motif karaja yang disebut kabora nabbu dan ana karaja untuk selendang yang biasa digunakan oleh laki-laki mengikat kepala dan mengikat parang di pinggang.


Setelah bergantian menyusun benang, pelajaran dilanjutkan dengan teknik mengikat atau kat kaba. Tujuannya agar saat pewarnaan, bagian-bagian yang diikat tidak bercampur dengan warna yang dipakai dan bagian-bagian yang diikat ini yang nantinya membentuk motif karaja. Proses mengikat lumayan lama karena harus teliti dan ikat dengan kencang agar karaja benar-benar berhasil.


Di sela-sela latihan, ada Mama Yuli dan Mama Rude yang saling berbalas pantun. Kadang bernyanyi dalam Bahasa Laboya dan diikuti oleh yang lain, lalu kami tertawa bersama ketika ada pengucapan pantun dan lagu yang salah. Latihan ini benar-benar tidak terasa membosankan dan semakin semangat mereka berlatih. Kegiatan ini juga membangun keakraban di antara para mama. Ada kalanya mereka bingung dan bertanya, lalu Mama Leha dengan cepat dan begitu teliti memperbaikinya. Tidak lupa juga menyiapkan makan siang kami, yang dibantu oleh Mama Muda, agar latihan ini tidak saja semangat namun perut juga terisi dengan lauk ikan tembang kabata yang dicampur kelapa parut dan tidak lupa sambal jeruk purut ditambah terong sedikit. Kearifan lokal dan pangan lokal bersatu dengan sempurna.


Setelah proses mengikat selesai, Mama Leha mengambil baskom berisi air yang dicampur dengan abu dapur, lalu merendam benang yang sudah diikat supaya saat proses pewarnaan akan menyerap warna dengan kuat. Perendaman ini dilakukan selama satu malam.

Memberi Warna


Keesokan harinya, kami berkumpul kembali di rumah Mama Leha. Mama Yuli sudah lebih dulu sampai. Sambil menunggu yang lain datang, kami menikmati sajian khas sirih pinang ditambah lagi kopi dan teh yang sudah disiapkan oleh Mama Leha. Ketika semua sudah datang, kami melanjutkan proses pewarnaan. Mama Leha sudah mempersiapkan beberapa bahan pewarna berupa garam, juga pewarna merah dan hitam. Yang lain mengambil kayu bakar dan menyalakan api, ada juga yang mengambil kuali dan air. Dalam kelas pertama ini, kami masih menggunakan pewarna pabrik karena bahan pewarna alam belum lengkap. Kami berharap saat praktik berikutnya sudah bisa menggunakan pewarna dari alam.


Air dimasak sampai mendidih lalu diberi garam untuk mengikat dan menguatkan warna pada benang. Benang yang sudah diikat lalu dimasukkan ke dalam air yang sudah mendidih, kemudian diaduk sampai benar-benar merata. Benang ditunggu beberapa menit sebelum diangkat, lalu dibiarkan sampai dingin, baru dibilas dengan air bersih dan dikeringkan. Setelah kering, bagian yang diikat dibuka dengan pelan-pelan. Hasilnya memuaskan walaupun ada beberapa ikatan yang kurang kencang yang membuat karaja kurang jelas bentuknya. Lebih dari itu, semuanya bagus. Benang yang sudah dilepas ikatannya kemudian dipasang kembali dalam doka hamane dan siap untuk ditenun. Proses tenun dilakukan di rumah masing-masing karena semua mama dan remaja perempuan sudah bisa menenun.


Di akhir kegiatan, tiba-tiba Mama Goro dengan semangat bilang, "Mari sudah kita bikin kelompok ini, kita semua yang hadir ini satu kelompok!" Lalu yang lain dengan semangat menjawab, "Iya to, kita su cape-cape ini latihan, jangan bubar e…"


Kearifan lokal tidak akan hilang jika pengetahuan ini terus diajarkan kepada sesama dan generasi berikutnya. Semoga segala usaha niat baik ini berjalan mulus dan harapan terwujud.