Sama-Sama Belajar

Penulis dan Foto: Jefri Davidson Amakia

Sama-Sama Belajar

Penulis: Jefri Davidson Amakia | 20 Januari 2023

Beko Rina dan kakak beradik Pati Tunu dan Lani Jowa adalah tiga anak yang belajar bersama kami di kampung Letemaragana, sekitar 500 meter dari uma hakola (rumah sekolah) di kampung Sodan. Mereka bertiga sungguh menarik perhatian saya di awal kami belajar bersama. Beko Rina bersekolah formal. Saat itu, ia sudah duduk di bangku kelas tiga, tetapi bisa dibilang kemampuan literasinya masih rendah. Ini terlihat ketika saya memintanya menuliskan abjad. Ia kebingungan. Padahal untuk melafalkan abjad, ia tuntaskan dengan enteng. Menurut Ibunya, Beko Rina jarang ke sekolah sejak bapaknya meninggal pada waktu ia di kelas dua. Sejak itu, ia lebih banyak menghabiskan waktu untuk membantunya di kebun dan di rumah.

Sementara itu, Pati Tunu dan Lani Jowa tidak bersekolah formal. Menurut orang tuanya, mereka pernah akan mendaftarkan ke sekolah formal tetapi keduanya tidak mau. “Mereka lebih senang menggembala dan pergi ke ladang, jadi saya tidak mau paksa,” tutur bapak dari kakak beradik tersebut.

Minggu pertama belajar, kami habiskan waktu untuk mengenalkan abjad dan bermain di padang sekitar rumah mereka. Namun, pada pertemuan terakhir, mereka terlihat kurang bersemangat. Ketika saya akan pamit pulang ke uma hakola, Pati Tunu yang paling tua dari mereka bertiga dengan wajah murung mengatakan bahwa kita akan tidak bertemu lagi dalam waktu yang lama. Sebabnya, mulai keesokan hari dan untuk beberapa bulan ke depan, ia bersama Lani Jowa adiknya, begitupun Beko Rina tetangganya, akan menghabiskan waktu di ladang milik orang tua masing-masing di mana padi ladang, jagung, dan singkong ditanam. Mereka akan bertugas menjaga ladang di pinggir hutan itu agar tanaman tidak dimakan hama monyet.

“Tidak apa-apa. Kalau kalian mau, besok saya ikut jaga kebun. Kita bermalam sambil belajar di kamu punya uma oma (rumah kebun),” begitu kata saya. Tiga anak itu kelihatan bingung seolah tidak percaya mendengar jawaban saya.

Maka keesokan paginya, saya datang ke rumah mereka dengan sisa logistik dua mie goreng dan biskuit gabin dari uma hakola. Tiba di rumah Pati tunu dan Lani Jowa, Pati Tunu yang duluan menjemput saya dan mempersilakan saya duduk setelah membuka tikar di balai-balai bambu. Mendengar kedatangan saya, Lani Jowa keluar dari dalam rumah. Begitu juga Beko Rina datang menemani saya duduk. Beko Rina masih memperlihatkan wajah tidak percaya bahwa saya akan ikut mereka bermalam di uma oma. Terlihat Pati Tunu mulai mengisi buku dan pena yang saya bagikan saat awal belajar. Ibu Pati Tunu membekali kami dengan dendeng kerbau dan garam. Terdengar pula ibunya menitipkan pesan agar padi di uma oma ditumbuk untuk makan kami selama di sana. Bapak Pati Tunu yang baru pulang ikat kuda ke sabana pun turut menyampaikan pesan bahwa mereka juga tiap hari akan ke uma oma meski tidak untuk menginap.

Jarak dari rumah di Letemargana ke uma oma kurang lebih 4 km dan kami tempuh dengan berjalan kaki. Selama perjalanan, kami melewati sabana tempat biasa Pati Tunu menggembala kerbau, juga hutan pamali yang bernama Plogo Uma. Pati Tunu menjelaskan bahwa tidak boleh sembarangan orang masuk ke hutan, begitupun mengambil kayu bakar atau menebang pohon untuk membangun rumah. Belakangan baru saya tahu bahwa hutan Plogo Uma adalah tempat melaksanakan ritual penyembahan memohon izin mengambil tiang untuk membangun rumah. Selain itu, di sana juga terdapat mata air yang harus dijaga.

















Ini pertama kalinya saya menginap di uma oma bersama mereka. Yang tadinya rencana dua hari, berlanjut sampai empat hari. Selama di uma oma, Pati Tunu sibuk membuat wat kapiti atau katapel untuk digunakan sebagai senjata menembak monyet yang memasuki ladang mereka. Selain belajar, kami juga membagi tugas menyiapkan makan. Lani Jowa yang paling kecil bertugas mengambil sayur daun singkong, Pati Tunu bertugas menapis beras yang ia tumbuk, sedangkan Beko Rina baru bergabung dengan kami ketika malam hari karena pada siang hari, ia bertugas menjaga kebun milik keluarganya.

Selama di uma oma, saya hanya mengajari mereka literasi dasar, tetapi mereka mengajariku pengetahuan dari orang tuanya melalui adat yang melarang mereka membuka hutan secara sembarangan, menjaga mata air, dan yang terpenting bagaimana mereka menerima saya dan memberikan hatinya melalui tanggung jawab memberikan saya makan dan minum agar tidak kelaparan selama menginap di uma oma.