Melangun: Pemulihan Manusia dan Alamnya

Penulis: Taufik Hidayat | Foto: Dodi Rokhdian dan Taufik Hidayat

Melangun: Pemulihan Manusia dan Alamnya

Penulis: Taufik Hidayat | 27 Agustus 2021

Hari itu, aku berkunjung ke lokasi rombong Orang Rimba yang sedang melangun di area perkebunan kelapa sawit milik transmigran dari pulau Jawa, tepatnya di Desa Bukit Subur, Kecamatan Tebo, Jambi. Di sana mereka membangung sesudungon, rumah sementara Orang Rimba saat melangun berupa pondok dengan atap terpal hitam dan alasnya pelepah sawit yang disusun rapi. Tempat itu menjadi pilihan mereka mendirikan sesudungon karena tidak terlalu jauh pasar dan pemilik kebun mengizinkan mereka bermukim di sana. Rombong tersebut sudah biasa aku kunjungi ketika melakukan kegiatan belajar mengajar. Di bawah pohon sawit yang tingginya hampir lima meter dan di antara rerumputan kering sehabis disemprot racun kimia, aku duduk bercerita dengan Berasan dan Prado yang merupakan orang yang dituakan dalam rombong itu. Bermodalkan informasi dari beberapa artikel yang kubaca tentang melangun, aku mulai membuka pembicaraan, “Guding (panggilan halus yang biasa digunakan Orang Rimba untuk menyapa sesamanya), aku dengar dulu Orang Rimba melangun ke dalam (rimba) bukan keluar (perkebunan kelapa sawit)?”

“Bukan, Guding, dulu perkebunan ini rimba tanah nenek moyang kami. Kami biasa melangun ke sini tapi bedanya, dulu rimba sekarang sudah jadi kebun sawit,” demikian jawab Prado.

“Terus, kenapa tidak cari tempat lain yang ada rimbanya?” tanyaku lagi. “Rimba sekarang tidak seperti dulu lagi, Guding, tidak luas. Di rimba sekarang susah cari makanan, yang ada cuma gedung (jenis umbi-umbian), kalau salah mengelolanya, bisa mabuk (keracunan). Hewan buruan juga lebih susah didapat. Daripada susah melangun ke rimba, mending melangun ke sawitan. Sekalian bisa cari brondol (buah sawit yang gugur) untuk dijual ke toke (penampung) terus duitnya bisa buat beli makanan. Babi juga lebih banyak di sini, toke babi dekat,” Prado menjawab pertanyaanku sambil tertunduk lesu.

Dengan luasan hutan yang menyempit dan akses yang semakin terbuka, Orang Rimba memang sudah mulai mengandalkan pasar untuk memenuhi sebagian kebutuhan pangan. Mereka menjual hasil hutan seperti hewan buruan, jernang, madu, dan juga getah karet untuk mendapatkan uang yang kemudian dibelanjakan di pasar. Dahulunya sebelum Orang Rimba bersentuhan dengan pasar, kebutuhan pangan seutuhnya diperoleh dari hutan. Belakangan Invasi pasar sangat mempengaruhi pola hidup Orang Rimba, mereka mulai intensif melakukan transaksi jual beli di pasar.

Perubahan situasi hutan juga memaksa Orang Rimba beradaptasi dalam menjalankan melangun. Informasi yang aku dapat, dahulu melangun memakan waktu hingga bertahun-tahun. Maka, ku tanyakan ini kepada mereka.

“Iya, guding, itu dulu. Dulu waktu aku masih kecil, nenek kami meninggal. Kami melangun sampai lima tahun. Rumah kami yang di rimba sudah ditumbuhi pohon sebesar ini,“ jelas Berasan sambil menunjukkan lengan tangannya, “Sampai buntang (mayat orang yang meninggal) sudah tidak ada bekasnya lagi. Sekarang cuma enam bulan sudah pulang. Susah sekarang melangun. Makanan di rimba lebih susah dicari. Kalau lama di sawitan, kadang diusir sama yang punya. Airnya kotor, anak-anak jadi sering sakit. Terus kebun yang ditinggal melangun bisa jadi semak, banyak ditumbuhi pohon. Tapi kami tidak merasa sayang. Kami lebih sayang keluarga kami dari pada kebun.”

Aku lanjut bertanya, “Kalau pulang dari melangun, kebun dibuka lagi?”

“Iya, kalau kebun ditinggal melangun, kami menanam ubi yang biasanya enam bulan baru dipanen. Kalau pulang dari melangun kami tanam lagi, empat atau lima bulan sudah bisa dipanen, ikan di sungai jadi banyak dan besar-besar.”

Pemaknaan Kelahiran dan Kematian

Sama dengan manusia lainnya, Orang Rimba juga mempunyai ritual khusus dalam memaknai kelahiran dan kematian. Kelahiran dimaknai secara sukacita dengan menanam pohon Sungoriy dan Sentubung, sedangkan kematian dimaknai dengan duka mendalam yang ditandai dengan ritual melangun. Melangun sejatinya bertujuan untuk menghilangkan kesedihan dengan cara meninggalkan kampung halaman, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dan kembali secara perlahan hingga kesedihan hilang. Menurut kepercayaan Orang Rimba, tanah yang ditinggalkan sudah dihuni roh jahat sehingga dapat menimbulkan kesialan, karena itu harus ditinggalkan selama beberapa waktu.

Melangun juga merupakan perwujudan rasa cinta mereka pada sanak saudara. Semua yang berada di wilayah tersebut ikut melangun untuk menunjukkan penghormatan serta kepedulian kepada yang meninggal dunia dan keluarga yang berduka.

Sebagai pemburu dan peramu, Orang Rimba sangat mengandalkan hutan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat melangun, Orang Rimba mencari lokasi-lokasi yang dirasa mampu untuk menyediakan kebutuhan air, sumber pangan, dan protein. Saat ini, hutan yang menjadi ruang hidup Orang Rimba semakin menyempit karena perluasan perkebunan dan permukiman sehingga tidak memungkinkan jika melangun dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang. Jika dahulu melangun dilakukan lima hingga belasan tahun, sekarang hanya berkisar enam bulan sampai satu tahun saja. Orang Rimba beradaptasi dengan situasi baru, salah satunya dengan mencari lokasi melangun di area perkebunan kelapa sawit. Jadi, selama melangun Orang Rimba dapat mengumpulkan buah sawit yang gugur dan menjualnya ke pengepul lalu dibelanjakan bahan pangan. Sesekali mereka berpindah ke perkebunan karet orang dusun. Jika tidak memiliki uang untuk belanja di luar, mereka memanfaatkan umbi-umbian yang tumbuh liar. Namun, ini tidak dilakukan untuk jangka yang lama karena ketersediaan bahan pangan terbatas di perkebunan karet.

Ketika melangun, Orang Rimba membawa seisi rumah, peralatan masak, kain, alat berburu dan bahan pangan yang bisa dibawa. Kebun serta lahan ditinggal dan tidak dikelola hingga masa melangun usai. Saat melangun inilah Orang rimba memberi kesempatan bagi hewan dan tumbuhan berkembang biak dengan sendirinya. Buah-buahan hutan yang biasanya dimanfaatkan oleh Orang Rimba, ketika melangun, hewan-hewan bebas untuk menikmatinya, ikan akan menguasai sungai, dan lebah menguasai bunga.

Dengan melangun berarti Orang Rimba memberikan kesempatan pada alam untuk merawat dan memperbaiki dirinya, membiarkan lahan tertutup daun, ditumbuhi rumput dan pepohonan, dedaunan serta kayu mati akan menambah bahan organik tanah, menjaga kelembaban dan meningkatkan aktivitas biologi tanah serta mengendalikan pH. Lahan yang dimanfaatkan secara terus-menerus akan menyebabkan berkurangnya unsur hara di dalam tanah yang akan mempengaruhi kesuburan dan pertumbuhanan tanaman nantinya. Pengolahan tanah yang intensif secara terus menerus tanpa mengistirahatkan tanah dan tanpa penambahan bahan organik berakibat pada menurunnya kadar bahan organik di dalam tanah (Arifin, 2010). Rumput dan pepohonan yang tumbuh akan menahan laju erosi, mengurangi pencucian hara, mengurangi penguapan, sebagai pengikat tanah, dan penyaring air alami sebelum masuk ke sungai. Tanaman secara tidak langsung dapat melindungi tanah dari kerusakan sifat fisiknya, terutama kerusakan akibat aliran permukaan. Menurut Utomo (1994), adanya tanaman akan menyebabkan air hujan yang jatuh tidak menghantam permukaan tanah melainkan terlebih dahulu ditangkap oleh tajuk daun tanaman, dan proses ini disebut intersepsi.

Melangun adalah salah satu bukti yang menunjukkan bagaimana cara Orang Rimba memanjakan hutannya. Ada saatnya memanfaatkan, ada saatnya membiarkan. Melangun juga menunjukkan bagaimana Orang Rimba bertani, ada saatnya menanam dan ada saatnya mengistirahatkan.(*)

Pustaka

Arifin, M. 2010. Kajian Sifat Fisik Tanah dan Berbagai Penggunaan Lahan dalam Hubungannya dengan Pendugaan Erosi Tanah. Jurnal Pertanian MAPETA UPN: Jawa Timur. Halaman 144.

Wani Hadi Utomo. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. Malang : Penerbit IKIP Malang.