Mananu di Komunitas Sodan: Belajar Mengurai Benang Kusut Kehidupan

Penulis dan Foto: Faiz Farqolith

Menanu di Komunitas Sodan: Belajar Mengurai Benang Kusut Kehidupan

Penulis: Faiz Farqolith | 25 November 2021

Matahari sore yang hangat menyinari bale-bale rumah kayu. Tidak terik menyengat kulit, hanya memantul lembut di antara kayu dan bambu di kampung Tai Ngadu. Tangan-tangan berayun menari di antara rangkaian bambu. Dari tangan kiri ke tangan kanan, mangkuk berisi benang diayun Mama Leha untuk dioperkan pada tangan kiri putrinya Eli. Mangkuk lalu berpindah ke tangan kanan, masuk melalui celah dokaha hamane, kembali lagi ke tangan kiri, lalu diputar kembali lagi pada sang mama. Mama Leha duduk begitu rileks berselonjor kaki ke depan di antara benang. Di sebelahnya, Eli duduk melipat kaki. Saat sang putri keliru mengulurkan tangan sehingga benang menjadi kusut, dengan sabar Mama membetulkannya agar kembali menjadi runut. Gulungan benang itu lambat laun tersusun menjadi rangkaian benang yang padu. Begitulah proses hamane berlangsung.

Hasil dari proses hamane kemudian diletakkan dengan posisi susunan membujur (vertikal) lalu dijalin dengan dengan rangkaian benang yang dimasukkan ke dalam batang hawuwu secara melintang (horizontal) melalui celah rangkaian. Benang yang sudah dimasukkan pada celah rangkaian kemudian ditekan dengan batang kayu malira, menghasilkan irama khas “tak tak tak tak tak” yang membuat rangkaian benang bakal kain ini menjadi erat. Inilah cuplikan proses mananu atau menenun, sebuah identitas sandang bagi Komunitas Adat Sodan di Lamboya, Sumba Barat.

“Butuh waktu yang panjang untuk merangkai benang hingga menjadi kain, paling cepat sekitar 3-7 hari. Kalau sedang tanam di sawah, bangun rumah, atau ritual kematian, buatnya bisa lebih lama lagi,” cerita Mama Leha. Mananu memang dilakukan para perempuan di antara berbagai kegiatan hariannya. Memasuki musim tanam atau musim panen, para perempuan akan lebih banyak berkegiatan di kebun sehingga waktu untuk mananu lebih sedikit. Apalagi pada saat membangun rumah atau ritual kematian, sebagian besar waktu akan dialokasikan untuk kegiatan yang sakral tersebut sehingga mananu biasanya akan ditunda.


Alat Mananu


Saya asyik menyaksikan tarian benang, tangan, dan susunan bambu dengan kayu yang diperagakan Mama Leha. Sambil beristirahat, saya bertanya pada mama apa saja nama bagian dan fungsi dari rangkaian alat mananu ini. Mama Leha menjelaskan, “Alat mananu ini dibuat sendiri, kebanyakan terbuat dari bambu dan kayu-kayu di sekitar hutan. Ada satu bagian yang saya beli. Kayu malira ini kita beli di pasar supaya lebih praktis.”

Mama Leha lalu menjelaskan bagian-bagian alat mananu-nya, “Mulai dari bagian bawah ini namanya (1) bedo, dudukan kayu untuk menyangga bagian belakang tubuh penenun yang dilengkapi dengan tali atau (2) haneta bedo bertujuan agar posisinya tidak berubah.” Berurutan kemudian, Mama Leha menjelaskan bagian-bagian lain berikut fungsinya.


(3) Papa bawa berupa bambu bulat dengan panjang sekitar dua meter yang berfungsi menahan rangkaian benang pada bagian bawah.

(4) Papa dete berupa bambu bulat dengan panjang sekitar dua meter yang berfungsi menahan rangkaian benang pada bagian atas.

(5) Habilla atau bilah gepeng berukuran sekitar dua meter yang berfungsi menjaga kerapatan benang yang ditenun. Terdapat dua bilah habilla yang terbuat dari bambu.

(6) Hawuwu berupa sebuah tongkat tempat dililitkannya benang yang berfungsi mengoper dan memasukkan benang dalam celah rangkaian hasil hamane.

(7) Malira berupa kayu gepeng berukuran sekitar dua meter yang lebih panjang dari lebar kain untuk pegangan ketika ditekan. Salah satu bilahnya mengecil tumpul untuk merapatkan jalinan benang hasil hamane dengan hawuwu. Biasanya malira ditekan beberapa kali sehingga menghasilkan harmoni bunyi “tak tak tak tak tak tak” yang khas.

(8) Kalak unna berupa tongkat kayu tempat benang putih yang menjadi pemisah rangkaian benang hasil hamane. Pada proses mananu, kalak unna akan diangkat seiring dengan obola ditekan, lalu malira dimasukkan dalam celah rangkaian benang untuk nantinya ditekan.

(9) Obola yakni bambu bulat berukuran sekitar dua meter yang berada di depan kalak unna. Berfungsi sinergis dengan kalak unna.

(10) Roraha berupa dua buah bambu bulat yang dipasang membujur (vertikal) pada rangkaian alat mananu berfungsi sebagai dudukan papa bawa dan papa dete.

(11) Baitanu atau bambu bulat berukuran sekitar tiga meter yang diletakkan melintang (horizontal) pada rangkaian alat mananu, berfungsi sebagai dudukan roraha pada bagian paling depan.

(12) Dokaha mane adalah penyangga benang pada saat proses hamane.

(13) Dokaha li’ra yakni penyangga benang pada saat proses kali’ra.

Hasil keterampilan mananu mempunyai ikatan yang kuat dengan keseharian masyarakat. Kain dan sarung mempunyai banyak kegunaan khususnya untuk urusan adat. Dalam proses pernikahan misalnya, pihak mempelai laki-laki yang membawa belis hewan seperti kuda, babi, dan kerbau akan mendapat balasan berupa kain dan sarung dari pihak mempelai perempuan. Pada tiga tahapan pernikahan, akan selalu ada kain dan sarung yang disiapkan. Tahap pertama atau ngidiro kuta yakni saat pihak laki-laki datang menyampaikan maksud baik dengan membawa sirih pinang, hewan, dan tombak, sementara pihak perempuan akan menyiapkan sepasang sarung dan kain. Pada tahap kedua atau habolana, pihak perempuan akan menyiapkan sekitar sepuluh pasang kain dan sarung. Lalu pada tahap terakhir yaitu kade di mana perempuan akan pindah rumah, mereka menyiapkan sekitar 20 pasang kain dan sarung.


Motif Karaja

Komunitas Adat Sodan sendiri mempunyai tantangan besar dalam menghadapi arus perubahan zaman. Mereka memiliki motif tenun khas yang disebut dengan karaja. Namun, dari hasil obrolan dengan para mama, mereka resah karena ternyata banyak dari mereka yang lupa, belum bisa, dan bahkan belum belajar membuat motif karaja ini. Keadaan ini membuat keberadaan motif karaja terancam pudar dan dilupakan. Dari hasil evaluasi bersama komunitas, disepakati untuk membuka kelas mananu motif karaja dengan Mama Leha sebagai gurunya. Mama Leha merupakan salah satu perempuan di Komunitas Adat Sodan yang bisa membuat motif karaja tersebut. Kelas ini rencananya akan diikuti oleh para perempuan di Komunitas Adat Sodan. Sesuai dengan kepercayaan setempat, ketika anak perempuan sudah mengalami menstruasi, maka sudah memenuhi syarat untuk diajar mananu oleh ibunya.

Motif karaja biasanya dibuat menggunakan pewarna alami seperti akar pohon dan daun-daun, misalnya daun wora dan kulit batang kayu kawaraka untuk warna hitam, akar mengkudu untuk warna merah, dan akar kebo untuk warna kuning. Melestarikan kembali pengetahuan lokal yang terancam pudar dan hilang, kelas mananu ini rencananya akan kembali belajar penggunaan pewarna alami. Beberapa tahun terakhir ini, warga jarang atau bahkan tidak sama sekali menggunakan pewarna alami dan benang dari kapas karena terpengaruh benang tekstil dan wantex dari pasar yang mudah didapatkan. Hanya saja, penggunaan pewarna buatan mempunyai efek pencemaran, berbeda dengan pewarna alami yang lebih ramah lingkungan karena bahannya berasal dari alam tanpa banyak kontaminasi bahan kimia pabrikan.

Memasuki pasar, satu lembar kain yang menggunakan benang tekstil dan pewarna wantex biasa dijual dengan harga sekitar Rp500.000,00. Sementara kain yang menggunakan kapas dan pewarna alami dapat dijual dengan harga Rp2-3 juta, tergantung motif yang digunakan. Dengan nilai ekonomi yang tinggi, maka pengembangan kerajinan tenun diharapkan menjadi salah satu alternatif untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Tidak kalah penting, pelestarian keterampilan mananu dengan motif karaja diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta dan kebangggaan terhadap identitas budaya dan kearifan lokal Komunitas Adat Sodan.

***

Tarian mananu dan senandung cerita Mama Leha membawa saya pada sebuah kesadaran untuk belajar. Kita dapat belajar mengurai persoalan kehidupan dari proses mananu. Hidup kadang seperti jalinan benang kusut, kita tidak tahu harus mulai dari mana untuk mencapai jalinan hidup yang harmonis. Sering kali karena berbagai perkara yang terlihat semrawut, kita malah merutuki hidup, abai untuk memperbaikinya menjadi runut. Lihat, dengar, dan rasakan lebih dekat, agar kita dapat belajar memahami, lebih sabar dalam menjalani lakon-lakon kehidupan, menemukan makna dalam setiap peristiwanya.

Duduk bersampingan, uluran tangan dari Mama Leha kepada putrinya menggambarkan terjadinya transfer pengetahuan dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Sebuah lakon budaya yang turut serta melanggengkan kelestarian sebuah peradaban di tengah arus globalisasi yang menggerus identitas budaya berbagai komunitas adat.(*)


Selamat Hari Guru!

#semuaorangadalahguru