Ketupat Pasola Laboya

Penulis: Rosalia Jola Pedi | Foto: Jefri Davidson Amakia

Ketupat Pasola Laboya

Penulis: Rosalia Jola Pedi | 18 Maret 2022

“Tidak lama lagi Pasola. Mari kita pergi bersama Rato. Kamu tidak usah bawa ketupat, nanti saya yang bawa. Kita makan sama-sama di Lai Madongar,” kata Bangela Rauwa salah satu murid Hakola Huba saat kami sedang menyiapkan bahan untuk memasak kolak di balai-balai uma hakola. Lai Madongar adalah nama pantai di selatan Sumba yang menjadi tempat dilaksanakan ritual Pasola atau dalam bahasa Laboya disebut Marapu Harona.


Pasola atau Pahalana merupakan permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan upacara adat orang Sumba yang menganut kepercayaan lokal Marapu, khususnya di wilayah Lamboya di mana Kampung Sodan berada, Wanokaka, Gaura, dan Kodi dengan waktu pelaksanaan yang berbeda-beda. Di Lamboya, Pasola tahun ini diadakan pada bulan Februari.


Bermalam di Lai Madongar

Dalam perjalanan menuju Lai Madongar, kami bertemu dengan warga Sodan yang tinggal di rumah kebun. Mereka sedang dalam perjalanan pulang ke Kampung Sodan. Saat upacara adat Pasola berlangsung, semua kerabat yang tinggal di rumah kebun maupun yang tinggal di luar kampung akan pulang ke kampung untuk berkumpul bersama keluarga. Mereka membawa ayam dan beras untuk dipersembahkan di uma besar (rumah besar) mereka dan dimakan bersama keluarga saat ritual Pasola sudah selesai. Mereka yang pulang kampung saat Pasola dinamakan ata tura. Momen ini menjadi momen yang sangat berharga karena mereka bisa berkumpul bersama di rumah besar di Kampung Sodan.


Para Rato atau tetua adat dan anak-anak di Kampung Sodan berjalan sore menyusuri sungai sampai ke muara atau kako mali ke Lai Madongara. Sedangkan kami tim Hakola Huba menempuh jalur Kabukarudi dan bertemu di Lai Madongara. Para Rato, pemuda, dan anak-anak membawa ketupat di dalam kaleku (wadah anyaman pandan) masing-masing untuk persiapan makan malam dan makan pagi di Lai Madongara. Sesampainya di sana, hari sudah mulai gelap. Para Rato membersihkan tempat untuk ritual sementara anak-anak berlarian ke pantai sambil mengejar kepiting untuk dijadikan lauk makan malam nanti. Ada juga yang mengumpulkan ranting kayu kering untuk menyalakan api. Anak-anak senang sekali bermain di atas pasir sambil main air laut karena kesenangan itu cuma dirasakan saat upacara adat Pasola.


Hari semakin larut. Sembari menunggu bulan muncul, kami duduk di atas daun kelapa yang sudah disiapkan sejak sore tadi. Ada yang sibuk membakar kepiting untuk persiapan lauk makan malam bersama ketupat, ada juga anak-anak yang masih asyik bermain di pinggir pantai. Mereka tampak senang sekali walaupun kami dan para orang tua khawatir kalau mereka terseret ombak, tetapi anak-anak malah keasyikan berlarian sambil mengejar kepiting.


Jam menunjukkan pukul 21.43 saat tiba-tiba Rauwa datang menghampiri dengan membawa empat buah ketupat, “Nyo ngala katupata (ini ambil ketupat),” katanya sambil menyodorkan ketupat yang dibawanya. Kami masih ragu-ragu untuk mengambilnya karena belum mendengar pengumuman langsung dari Rato untuk makan, tetapi anak-anak yang lain masing-masing memberi kami ketupat dan Rato menyuruh kami untuk mengambilnya yang artinya sudah diperbolehkan untuk makan. Benar kata Rauwa kalau dia akan memberi kami ketupat dan bukan cuma Rauwa, semua anak memberi kami ketupat. Ketika kami mencoba untuk menolak karena terlalu banyak, mereka akan memaksa. Kamu ambil saja, tidak apa-apa simpan untuk besok pagi, ini sudah rezeki kamu, jangan tolak rezeki, begitu kata orang tua mereka.


Sebelum kami makan, para Rato sudah lebih dulu memberikan ketupat di Marapu Harona sebagai tanda penyembahan kepada leluhur dan kepercayaan mereka. Lalu kami mulai menikmati makan malam dengan lauk kepiting bakar dan air kelapa. Ada bapak Rato Mati Peku yang dari tadi sibuk menyiapkan lauk kepiting mulai dari membakarnya, kemudian menguleknya dijadikan sambal di tempurung kelapa. Tidak lupa dia memberi kami sebagian sambalnya. Ah, sungguh mati nikmatnya!


Setelah makan, kami mulai menyiapkan tempat untuk kami beristirahat. Saya bersama anak-anak perempuan merapikan daun-daun kelapa, sedangkan Jefri dan anak-anak laki-laki menyalakan api unggun, ada yang lain yang masih asyik mencari kepiting. Tidak bosan-bosannya mereka bermain di pasir. Para Rato sudah mulai istirahat, ada juga yang masih sadar sambil memperingatkan anak-anak untuk tidak main terlalu jauh di laut karena ombak semakin larut semakin pasang. Kami lalu mengambil tempat masing-masing untuk istirahat.


Kira-kira pukul 3.00 dini hari, tiba-tiba gemuruh di langit mengagetkan kami semua, tanda akan turun hujan. Rato memperingatkan kami untuk bangun dan bergegas mencari rumah terdekat untuk pindah. Kebetulan di dekat situ ada pondok dari alang-alang. Kami semua lari ke sana karena hujan mulai turun. Di pondok itu, semuanya terjaga dan tidak ada yang tidur lagi. Hujan yang dibarengi angin terus masuk ke pondok.

Hari Pasola

Hujan angin tadi subuh sisakan basah dan dingin di pagi hari. Para Rato sudah lebih dulu kembali ke tempat ritual Pasola untuk mempersiapkan tempat penyembahan tanda dimulainya Pasola. Kami, anak-anak, dan para pemuda menyusul ke sana setelah sarapan pagi dengan ketupat dan air kelapa sisa semalam. Tidak lama, para wisatawan mulai berdatangan, memotret dari segala arah sesuai keinginan mereka. Datang juga pemerintah setempat untuk memantau tempat ritual sambil juga memotret.


Pasola pantai dimulai ketika Rato dari Kampung Malisu dan Rato dari Kampung Wailajung tiba dengan kuda dan karige (kayu lembing) masing-masing. Bapak Rato Kedu Moto dari Kampung Sodan suku Ubu Teda menyambut kedatangan mereka lalu memberikan sirih pinang kepada dua Rato yang datang sebagai tanda diterimanya kedatangan mereka dan Pasola akan segera dimulai. Rato Sodan mempersilakan Rato Malisu dan Rato Wailajung untuk memulai Pasola di atas pasir dengan tiga kali putaran dan saling melemparkan karige.


Setelah selesai pasola di pantai, acara dilanjutkan di lapangan Hobakalla. Para Rato Sodan dan anak-anak bergegas pulang ke Kampung Sodan untuk melanjutkan ritual. Kami dan yang lainnya menuju lapangan Hobakalla untuk melihat ritual Pasola. Banyak sekali orang yang menonton Pasola. Sekeliling lapangan Hobakalla dipenuhi orang dari berbagai daerah. Ada yang menerbangkan drone, ada yang memotret menggunakan telepon genggam dan berbagai kamera lain.


Pasola berakhir dengan baik tanpa kekacauan sedikit pun. Kami bergegas pulang ke Kampung Sodan. Macet perjalanan sangat parah. Panas terik membakar tubuh dalam kemacetan jalan Lamboya. Akhirnya, setelah melewati macet kendaraan yang begitu banyak, kami sampai di Kampung Sodan, di rumah Mama Leha. Anak-anak yang lain pulang ke rumah masing-masing.


Mama Leha dan adik-adiknya sudah mempersiapkan ketupat lagi untuk makan bersama keluarga besar yang sudah datang. Setelah Pasola di lapangan Hobakalla selesai, akan ada ritual makan bersama di masing-masing rumah besar. Kami sudah dipesan Mama Leha untuk makan bersama di rumahnya. Suami Mama Leha mengambil ayam untuk dipotong, sementara Bapak Haingu bersamanya untuk bara (memohon restu ke Marapu).


Setelah semua sudah dimasak, kami mulai menikmati ketupat dan daging ayam bersama keluarga besar Mama Leha. Hari sudah sore, keluarga Mama Leha yang datang mulai berpamitan untuk pulang ke rumah masing-masing, begitupun kami juga pamit pulang ke uma hakola yang tidak terlalu jauh dari rumah Mama Leha. Tidak lupa pula Mama Leha memberi kami masing-masing ketupat untuk dibawa pulang.


Di acara ritual Pasola ini, semua Mama di masing-masing rumah besar menaruh beras dan sirih pinang di atas batu kubur keluarga mereka sebagai tanda persembahan makanan untuk keluarga dan leluhur yang sudah menduhului mereka.