Kelahiran di Musim Bunga

Penulis: Alberta Prabarini | Foto: Alberta Prabarini, Beatrix Gracella

Kelahiran di Musim Bunga

Penulis: Alberta Prabarini | 21 April 2022

Kelahiran di Musim Bunga


Di awal musim hujan tahun lalu, ketika bunga-bunga dari pepohonan buah mulai bermunculan, Rombong Sako Napu ramai bermalam di tana peranoon Padang Padero. Rombong itu terdiri dari keluarga besar Induk Bedayung dan Induk Nguncang. Jumlahnya mencapai 60 kepala, mulai dari orang dewasa, remaja, hingga anak-anak. Jika Orang Rimba bermalam di tana peranoon, artinya mereka sedang menanti kedatangan seorang anak dari perut sang induk yang merupakan bagian dari rombong itu. Mereka juga biasa menyebutnya nunggu gabat. Kali ini, adalah Induk Betiang yang baru saja melahirkan seorang anak laki-laki bernama Sereno Bungo, anak kelimanya dengan Bepak Betiang.


Menentukan Tana Peranoon

Biasanya, pada usia kehamilan yang ke tujuh bulan, para rerayo (orang yang dituakan) akan menentukan di mana lokasi tana peranoon yang cocok untuk nunggu gabat. Tana peranoon adalah tempat tinggal sementara yang dihuni oleh para keluarga ibu melahirkan. Mereka tinggal di sana hingga jabang bayi keluar dan juga setelah bayi berumur dan siap mandi aik, biasanya setelah usianya melewati dua purnama.


Lokasi tana peranoon biasanya berbeda dengan lokasi rumah, sehingga orang yang akan tinggal di tana peranoon juga harus memboyong beberapa barang rumah tangga seperti kain, alat masak, dan alat berburu selama bertahan hidup di sana. Karena saat itu bertepatan dengan awal musim bunga, maka tana peranoon yang dipilih adalah Padang Padero (hutan buah kelengkeng) milik Induk Bedayung di daerah Serenti agar mereka bisa sekaligus menjaga batang-batang buah dari serangan beruk yang biasanya memakan bunga-bunga yang mulai tumbuh. Kelompok penjaga nuaron (hutan buah-buahan) paling seru adalah anak-anak, biasanya di sela belajar dan dahan-dahan duriyon mulai bergoyang, artinya ada kawanan beruk datang. Langsunglah anak-anak berteriak “Oy! Oy!! Oy!!” sambil setengah berlari menakut-nakuti beruk sampai kawanannya pergi.


Selain pertimbangan musim, pemilihan lokasi tana peranoon juga ditentukan oleh kondisi tanah dan kecukupan air. Tana peranoon haruslah berada di tempat yang datar, tidak miring (tana terban). Lokasi itu juga harus memiliki vegetasi pohon dengan tutupan penuh karena di batang-batangnya bersemayam banyak dewa. Di tana peranoon juga harus ada sumber penghidupan sehari-hari seperti batang buah, benor (jenis umbi hutan), ataupun pencarian lain yang bisa menghasilkan uang, karena rombong penunggu gabat tetap hidup dari berburu dan mengumpulkan sumber pangan dari rimba. Kemudian, syarat yang paling penting adalah tana peranoon harus dekat dengan sumber air. Selain untuk kebutuhan sehari-hari, air sangat penting bagi ibu setelah melahirkan untuk mencuci kain, memandikan budak (untuk anak mandi), dan lain sebagainya. Bahkan memang mereka masih tinggal di sana hingga anak yang dilahirkan berusia dua bulan dan siap untuk melalui upacara inisiasi yakni mandi aik.

Usai Kelahiran

Tak lama sehabis melahirkan Sereno Bungo yang memerlukan proses panjang 12 jam, Induk Betiang langsung mencuci kain-kain bekas melahirkan di Aik Makekal (Sungai Makekal) yang terletak persis di belakang sesundungon (rumah sementara). “Eee selamonye, kitolah betina nang haruy cuci kain yoya, bukon jenton. Bepak Betiang hanya bantu jaga bebudak nang lain sambil masak, selama ake hopi telap,” kata Induk Betiang. Ujaran itu langsung disambut oleh Induk Nguncang, “Ee segelonye betino, nang bersih-bersih, nang nyuci budak yoy, jenton a cuma duduk mumpono bae…” disusul tawa canda induk-induk lainnya.


Bagi betina rimba (perempuan rimba), mencuci kain bekas darah itu adalah kewajiban perempuan dan tak elok jika dicuci oleh laki-laki walaupun suaminya sendiri serta walaupun itu adalah darah bekas kelahiran anaknya. Sementara orang jenton (laki-laki) selama di tana peranoon mendampingi istrinya, mereka mengambil tugas domestik yang biasa dikerjakan istrinya. Seperti Bepak Betiang yang selalu memasak dan mengurus keempat anaknya yang lain.


“Sakit sekali!” ujar Induk Betiang sambil mengernyitkan dahi, membayangkan peristiwa kemarin siang. Sementara Sereno yang tadinya tidur pulas di gendongannya, mulai bangun dan merengek. Kini Induk Betiang memilih posisi berdiri sambil mengayun-ayunkan kain gendong, menghentakkan telapak kakinya ke tanah dengan lembut secara bergantian kiri kanan. Itulah sosok perempuan lima anak dengan kulit yang masih sangat kencang dan rambut tanpa uban sedikitpun. Perempuan yang memakai dua kain, untuk menutupi tengkuk kakinya dan untuk menopang anaknya agar mereka aman dari bahaya dan bisa melahap putingnya dengan nyaman tanpa halangan sebagai sumber makanan mereka. Di antara kain itu, terdapat tali yang tak biasa kulihat ada pada induk-induk lain. “Nioma namonye cekak pinggang, memang kami selalu pakai ini kalau habis melahirkan,” Induk Betiang menjelaskan. Kemudian alunan nada keluar dari mulutnya dengan tangga nada yang khas serta lirik yang selalu tak bisa kuterjemahkan. Itulah yang dinamakan bubebong, senandung untuk membuai anak kecil yang mulai menangis atau mengantuk.


Komunitas Menyambut Kelahiran

Di bawah batang padero tempat aku dan Induk Betiang bercerita, berjejer tiga gayek betina: Induk Nguncang istri dari Bepak Nguncang, Induk Menosur yang adalah mertua perempuan Induk Betiang, dan Induk Bedayung yang merupakan ibu kandungnya. Mereka bertigalah yang membantu proses kelahiran Sereno Bungo. Saat kelapayon (melahirkan), biasanya seorang ibu butuh didampingi oleh dua sampai empat orang. Biasanya, dua orang sebagai pemidan yang bertugas mendorong bayi keluar dari arah perut, dan dua lainnya sebagai pemberoi yang menerima bayi. Sembari anak tersebut keluar perlahan, pemidan dan pemberoi mengucapkan jempi-jempi (doa) khusus kelapayon, selusu namanya. Segala tahapan itu berlangsung di rumah Induk dan Bepak Betiang, rumah yang khusus dibuat paling besar dan panjang di rombong itu untuk kelapayon. Rumah ibu yang hendak melahirkan harus berada di tengah rombong dan jaraknya dekat dengan rumah para gayek pemidan dan pemberoi agar sewaktu-waktu sang induk mulai mengejan, para gayek langsung siap turun tangan.


Di rombong Sako Napu, selain tiga gayek yang membantu Induk Betiang, juga banyak rerayo lain yang memiliki kemampuan sama andalnya untuk menangani kelahiran seperti Induk Nias, Induk Berayah, Induk Bejajo, dan Induk Bepadang. Begitu pula di rombong lain seperti Pengelaworon, Simpang Meranti, ataupun Kejasung, mereka memiliki pemidan dan pemberoi masing-masing yang selalu siap membantu orang melahirkan. Itulah mengapa sangat jarang bahkan tak ada Orang Rimba yang melahirkan di puskesmas atau rumah sakit dengan bantuan tenaga medis, karena komunitas menjadi penopang utama proses inisiasi kelahiran.


Pagi itu, seusai kami berbincang, para rerayo mulai beranjak pergi untuk bekerja di sekitar bahkan jauh dari tana peranoon. Ada yang membawa kecepek (senapan) untuk berburu, ada yang membawa parang untuk menggali benor, ada pula yang membawa karung kosong untuk mencari demor (damar). Sementara anak-anak tampak sudah bosan berlarian ke sana kemari, kami pun kembali ke tenda untuk mulai mengajar. Di perjalanan pulang, bunga-bunga durian berwarna putih tulang berjatuhan di tanah basah yang kami lalui, sedang batangnya menyiapkan diri untuk menyambut buah. Begitu pula Orang Rimba dalam menyambut kehadiran anggota keluarga baru di rombong mereka. Semuanya saling bekerja sama, membantu satu jiwa datang ke dunia, terutama para perempuannya.