Kawung: Sarat Makna Kaya Fungsi

Penulis: Tri Astuti | Foto: Aulia Erlangga, Alberta Prabarini, Nalendra Amar

Kawung: Sarat Makna Kaya Fungsi

Penulis: Tri Astuti | 10 Februari 2022

Saat memasuki pertengahan tahun adalah puncak suhu terdingin dan embun upas tiba di Tengger. Suhu udara di siang hari berkisar 8-20°C, dan akan lebih rendah pada malam hari bahkan mencapai minus. Meski demikian, udara dingin tidak mengurangi kebiasaan orang-orang Tengger di Desa Ranupani yang suka berkumpul di luar rumah pada sore hingga petang hari, selepas mereka bekerja di kebun. Bara api menyala dari kayu yang dibakar sebagai penghangat. Terdengar suara tawa, atau bahkan sekadar lamunan orang-orang. Terlihat lilitan kain di leher atau punggung mereka, itulah kawung. Kain yang digunakan khas oleh orang-orang yang tinggal di kawasan sepanjang Bromo, Tengger, Semeru atau kerennya disingkat BTS.


Kita-kita orang luar pasti akan melihatnya hanya sekadar sarung atau kain jarik yang sama seperti kain-kain yang bisa kita beli di pasar-pasar Indonesia. Tapi buat orang Tengger, kawung bukan sekadar penghangat tubuh karena berada di wilayah pegunungan yang dingin. Kawung mempunyai makna lebih dan fungsi yang sekiranya tidak terduga.


Kawung Kaweng


Ini mungkin fungsi dasar dan utama yang paling kalian kenal. Kaweng adalah sebutan untuk kawung yang berfungsi sebagai penahan udara dingin. Saat datang ke Bromo, kalian mungkin akan menggunakan jaket tebal, kupluk untuk menutup telinga, bahkan double baju hangat, tapi cobalah pakai kaweng ini. Mungkin tidak percaya jika tidak membuktikannya langsung, kaweng memang hangat dan berfungsi sebagaimana orang-orang Tengger gunakan selama ini.


Kawung kaweng ini memiliki posisi-posisi yang berbeda di beberapa wilayah Tengger. Masing-masing desa berbeda. Kita mulai dari desa yang paling tua di kawasan Tengger yaitu Ngadas. Jika sudah menikah, maka posisi letak ikatan kawungnya berbeda dengan yang masih lajang. Tapi di Ranupani lain lagi, mereka tidak membedakan posisi ikatan antara lajang dan sudah menikah. Hanya saja, kalau posisi ikatan kain di belakang dan kain menutup badan depan seorang perempuan, biasanya karena mereka sedang hamil. Sebagai ibu tentu ingin memberikan perlindungan pada calon bayi yang masih ada di perut. Tetapi beberapa ibu justru menyatakan kalau seorang perempuan memakai kawung di depan, maka kemungkinan perempuan tersebut sedang hamil tapi tidak mempunyai suami.

Foto: Alberta Prabarini

Foto: Aulia Erlangga

Foto: Nalendra Amar

Dari Blosongan sampai Tandu


Kawung memiliki sebutan yang berbeda sesuai dengan penggunaannya. Fungsi kawung beragam. Blosongan misalnya, sebagai ganti selimut. Tentu saja bukan pada saat embun upas datang ke Tengger karena saat itu biasanya orang-orang akan tidur menggunakan selimut tebal. Tetapi di hari-hari cuaca yang bersahabat, maka blongsongan pun cukup. Fungsi lainnya yang paling sering disebutkan adalah sembong. Sebagai petani di tanah dengan kemiringan sampai 75° ini, mereka harus membawa hasil panen dengan cara dipikul. Nah, kawung sembong ini akan melilit di pinggang mereka terutama sebagai pengaman agar rahim tidak turun untuk perempuan atau turun berok. Sedangkan pada laki-laki, ini sebagai ganti sabuk saat mengangkat barang berat.


Buat para perempuan, yang paling lazim, kawung dijadikan gendongan bayi. Jika kalian ke Ranupani dan berjalan-jalan di sekitar kebun warga, jangan heran jika mendapati ibu-ibu dengan yang menggendong bayi di punggung mereka. Para ibu di Ranupani membawa bayi mereka ke kebun sejak usia bayi 40 hari. Selain sebagai gendongan bayi, ibu-ibu akan menggunakannya untuk menggendong pupuk atau bekal makan siang mereka, multi fungsi sekali kawung ini.


Selain pekerjaan utama mereka sebagai petani, beberapa bapak-bapak di Ranupani juga bekerja sampingan sebagai porter saat pendakian Semeru ramai. Tidak seperti para pendaki gunung yang berbekal tas gunung dan perlengkapan pendakian, bapak-bapak ini hanya berbekal kawung sarung. Dan ternyata fungsinya sangat banyak saat mereka menjadi porter. Mulai dari selimut dengan sebutan blongsongan dan krubutan, kaweng, sampai ke cokopan yang dililitkan di kepala sampai leher hingga bisa menutup telinga untuk melindungi diri dari hawa dingin Ranu Kumbolo hingga puncak Mahameru. Kawung ini pun bisa dijadikan sebagai alat darurat penyelamatan saat terjadi kecelakaan pendakian. Kawung akan diubah menjadi tandu untuk evakuasi korban. Dan saat porter ikut pendaki menaiki puncak Mahameru, Kawung akan dililitkan ke badan yang kemudian sisa kainnya dijadikan webbing sebagai pegangan pendaki di belakangnya.


Masih banyak fungsi kawung dengan sebutannya masing-masing. Misalnya lampin yang diikat di samping dan berfungsi untuk membawa bekal atau hasil meramban di hutan, juga ada bubetan yang digunakan saat ibadah. Karena fungsinya yang beragam ini, tidaklah heran jika orang-orang Tengger selektif memilih kualitas kawung. Mereka juga memilih warna kawung. Di beberapa lokasi di wilayah Bromo Tengger Semeru, kawung yang berwarna dasar putih biasanya digunakan saat upacara adat. Warna ini merupakan warna suci bagi orang Tengger, maka kawung dengan dasar warna putih akan banyak ditemui saat upacara-upacara besar di Tengger seperti Karo hingga Unan-Unan. Kawung putih aneka motif berbalut baju berwarna hitam dan untuk perempuan ditambahkan balutan kain putih juga dengan aneka motif, itulah pakaian yang biasanya digunakan saat upacara besar.


Nah, kawung model apa yang cocok bagi kalian?(*)