Bebi Tekelolupuk

Penulis: Pengendum Tampung | Foto: Dok. Sokola Rimba

Bebi Tekelolupuk

Penulis: Pengendum Tampung | 18 Februari 2022

Sejak Covid-19 datang, banyak hal baru yang terjadi. Misalnya hilangnya mata pencaharian Orang Rimba dalam segi berburu, yang mengakibatkan perekonomian dan penghidupan Orang Rimba semakin terdesak. Hal tersebut dimulai sejak datangnya peristiwa bebi tekelolupuk atau babi mati secara massal. Belum diketahui secara pasti, apa sebab kematian hewan buruan tersebut. Awalnya, harga babi yang meningkat secara drastis disambut dengan antusias oleh Orang Rimba. Meskipun harga getah karet dan jernang sedang jatuh secara drastis sejak Covid-19 datang, harga babi yang melonjak menjadi obat pelipur lara di tengah pandemi yang menyerang tiada ampun. Hal tersebut membuat Orang Rimba sangat bersemangat berburu bebi. Setidaknya, dalam satu hari, penghasilan menjual hasil buruan bisa mencapai Rp3.000.000/orang.

Melihat penghasilan yang jauh meningkat, Orang Rimba berlomba-lomba membeli motor baru dengan cara kredit. Namun, kondisi tersebut tidak bertahan lama. Kematian babi secara massal merenggut senyum yang baru saja terbit. Kini, Orang Rimba sedang kebingungan. Tak hanya soal mencari makon minum, tapi juga pusing bagaimana membayar angsuran tersebut.

"Eeee ... Pengendum, mumpa mono ndok mati tekarota. Yoya, budak di rumah kamia kuagak selamo kami bejelon nioma, nye mati tekarota. Dengan secanting hopi, anak beras di rumah. Omba, selamo yoya, bebi lagi ado. Jedi orang beburu bisa beli anak makon minum. Kinia bebi lah habis mati, jedi ndok apo lagi-lah, nang bisa dicari," keluh para induk-induk di Rimba saat aku bertandong. Hal yang sama aku dengar kala aku berkunjung pada kelompok lain.

Sekarang, babi sudah punah, harga jernang sangat rendah. Hendak menyadap karet, harus buka plan dari awal, yang berarti, harus beli batok kelapa serta sudu kembali. Namun, Tuhan tetap adil. Di tengah kondisi yang membuat Orang Rimba terpuruk, tetap ada hal baik yang muncul. Budaya kehidupan Orang Rimba yang sempat hampir hilang, kini muncul kembali.

Foto: Dok. Sokola Rimba

Foto: Dok. Sokola Rimba

Orang-orang mulai kembali bertani, menanam ubi, memasang jorot (jerat) kancil, memasang pelabu (jerat khusus) tikus dan tupai, berburu kuya (biawak), landok (landak) serta hewan lainnya dengan menggunakan anjing, serta menangkap ikan dengan cara tradisional. Mencari ikan misalnya. Biasanya, Orang Rimba akan membeli potas untuk meracun sungai, karena merasa mampu membeli tuba beracun tersebut. Tapi sekarang? Mau tidak mau, suka tidak suka, kembali pada budaya awal yaitu ngerako.

Ngerako sendiri, merupakan cara tradisional Orang Rimba mencari ikan dengan memukul-mukul kulit kayu, buah, serta umbi yang beracun pada hulu sungai. Getah pada kulit, buah, ataupun umbi yang di pukul-pukul tersebut, akan keluar dan mengikuti aliran sungai. Proses itu tidak akan membuat ikan mati, namun hanya membuat ikan sedikit pusing dan berlari ke hilir. Sedangkan, pada hilir sungai sudah di pasang lulung ataupun sukam, yakni perangkap ikan yang terbuat dari jalinan bambu.

Sebenarnya Orang Rimba sendiri memiliki beberapa jenis tuba tradisional, seperti gentung tuba, tuba brisil, dan tuba cerako yang berbeda-beda bahan pembuatnya. Gentung tuba merupakan jenis tuba yang berasal dari umbi yang memiliki getah racun yang tidak membunuh. Selain digunakan untuk ngerako, gentung tuba juga bisa dimanfaatkan menjadi pengganti ubi, dengan membuang getah yang yang tersimpan pada umbinya. Sedangkan tuba brisil merupakan jenis tuba yang berasal dari kulit kayu brisil. Selain digunakan untuk tuba ikan tidak mematikan, getah beracun brisil dapat digunakan menjadi obat penyakit kuning. Terakhir adalah tuba cerako yang merupakan jenis tuba yang berasal dari kulit sekaligus buah cerako. Kulit pohon cerako dapat dijadikan sebagai obat kurap, dengan cara menggosokkan kulit cerako pada area yang terkena kurap.

Foto: Dok. Sokola Rimba

Foto: Dok. Sokola Rimba