Ata Hurre dan Kelahiran Bayi di Kampung Sodan

Penulis dan Foto: Lia Jola Pedi

Ata Hurre dan Kelahiran Bayi di Kampung Sodan

Penulis: Lia Jola Pedi | 27 Januari 2022

“Semua anak saya lahir dibantu oleh ata hurre,” demikian Inya Lihu memulai ceritanya dengan menggunakan bahasa Laboya. Tedera Maga, cucunya, yang saat itu ikut duduk bersama kami di balai-balai bambu depan rumahnya, membantu menerjemahkan cerita Inya Lihu tentang proses kelahiran bayi, pemotongan tali pusar, sampai pada di mana ari-ari akan dikubur, serta ritual potong rambut bayi.


Di Sumba pada umumnya, ada bidan tradisional yang biasa membantu ibu hamil yang akan melahirkan. Apalagi zaman dahulu, desa-desa kebanyakan belum terakses oleh kendaraan dan jauh dari puskesmas. Jadilah ibu-ibu sangat mengandalkan bantuan dari bidan tradisional atau ata hurre. Inya Lihu adalah salah satu mama dari kampung Sodan yang pernah merasakan bantuan dari ata hurre. Usianya kini sekitar 80-an tahun. Semua anaknya lahir dengan bantuan bidan tradisional di Sodan yakni Mama Talo Goro.


Setelah bayi lahir, bidan akan memotong tali pusarnya lalu dibungkus dengan bambu untuk disimpan di uma lar atau loteng rumah yang berada di atas perapian, biasanya menjadi tempat penyimpanan bahan makanan seperti padi dan alat-alat berharga. Kemudian ari-ari bayi akan dikubur di bawah kolong rumah. Jika bayi berjenis kelamin laki-laki, maka ari-ari akan dikubur di bagian keba kalla atau balai-balai besar di dalam rumah, dan jika bayi perempuan, maka ari-ari akan dikubur di kolong rumah bagian hupu keba atau balai-balai belakang rumah. Di kampung Sodan sendiri, balai-balai besar hanya bisa dilewati oleh laki-laki. Perempuan tidak boleh melewati, khususnya istri dari kepala keluarga di rumah itu dan juga menantu perempuannya. Perempuan hanya boleh melewati balai-balai belakang atau hupu keba untuk masuk dan keluar rumah.


Ada upah yang wajib diberikan kepada ata hurre saat selesai membantu melahirkan bayi. Mereka menyebutnya pata tana. Upah ini akan diberikan setelah tiga hari sejak kelahiran bayi, menyertai ritual pemberian nama kepada bayi yang baru lahir. Ritual tersebut bernama hopi we kabuta di mana ata hurre yang membantu kelahiran harus diundang. Adapun upah yang diberikan antara lain satu ekor anak babi, satu batang pisau, cincin, satu ekor ayam hidup, satu ekor ayam yang sudah dimasak, satu bakul kecil nasi, satu bakul kecil beras, serta uang dengan jumlah yang tidak ditentukan. Saat ritual hopi we kabuta, tiga ekor ayam akan dipotong dan hatinya akan disembah kepada kepercayaan mereka Marapu, menggambarkan rasa syukur atas kelahiran bayi mereka dengan sehat dan selamat.

Satu bulan kemudian, diadakan ritual potong rambut bayi. Potongan rambut itu akan dibungkus dengan sarung dan dibawa ke mata air. Bungkusan itu akan diikat di pinggang oleh mama si bayi, dan ia sendiri yang akan pergi ke mata air. Potongan rambut kemudian disimpan di dalam lubang batu yang ada di mata air. Dalam bahasa Laboya, ritual ini disebut dengan hoba kamaringuna, mawo kamayagala yang artinya agar rambut si bayi itu kuat dan dingin.

“Saya sangat bersyukur bisa dibantu oleh ata hurre saat melahirkan karena tidak perlu operasi perut lagi,” kata Inya Lihu dengan senyum-senyum bangga bercerita ke saya. Menurutnya, sekarang ini, kebanyakan ibu-ibu yang melahirkan harus operasi. “Saya tidak mau memang dioperasi karena di kampung saya ini kerjanya harus naik turun bukit, saya takut nanti robek lagi bekas operasinya,” sambung Inya Lihu dengan wajah seperti ketakutan membayangkan kalau dia dioperasi. Dan Inya Lihu sangat mengapresiasi perjuangan ata hurre yang ada di kampung Sodan.