TAPI

Penulis: Butet Manurung (dari tulisan berjudul "Apa yang Salah dengan Volunter?", dimuat di Harian Kompas, 3 November 2015) | Foto: Aulia Erlangga, Ekspedisi Literasi Asmat 2013

TAPI

Penulis: Butet Manurung | 5 Desember 2021

Ada model pertanyaan yang sering saya jumpai, ”Kak, saya suka bertualang, saya juga ingin mengajar di rimba, tapi saya takut gelap. Bagaimana, ya?” Atau, ”Kak, saya sangat ingin mengajar anak-anak jalanan, tapi orangtua ingin saya jadi PNS.” Menghadapi pertanyaan itu, saya biasanya senyum-senyum saja. Atau kalau sudah terpojokkan, saya bilang, ”Bereskan dulu tapi-mu, ya, setelah itu baru kita ngobrol lagi.”


Rasanya sulit menumbuhkan kekuatan pikiran dan hati kita kalau kita sendiri sudah membatasi diri kita dengan banyak ”tapi”. Akan selalu ada alasan kalau kita fokus pada kalimat di belakang kata ”tapi”. Karena bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, bukan? Bahwa dia tidak (akan) berusaha ke rimba atau apa pun mimpinya karena dia punya banyak ”tapi”. Bagaimana kalau kalimat ”tapi” itu kita balik? ”Kak, sebenarnya orangtua saya ingin saya jadi PNS, tetapi saya sangat ingin mengajar anak-anak jalanan.” Dan, ”Kak, saya itu sangat takut gelap, tapi saya suka bertualang dan ingin mengajar di rimba!”


Teks: Butet Manurung (dari tulisan berjudul "Apa yang Salah dengan Volunter?", dimuat di Harian Kompas, 3 November 2015)


Selamat Hari Relawan Internasional!

TAPI Kompas_Opini_Butet_Nov2015.pdf