“Sekolah”
di Kebun

Penulis: Tri Astuti | Foto: Aulia Erlangga dan Sintia Rahayu Finaliza

Foto: Dokumentasi Pribadi Sintia

Foto: Aulia Erlangga

“Sekolah” di Kebun

Penulis: Tri Astuti | 29 Juli 2021

Sumber Cerita: Sintia Rahayu Finaliza

Sintia Rahayu Finaliza lahir di desa Ranupani, Tengger, 15 tahun yang lalu. Ia dibesarkan dengan balutan adat Tengger. Adat pula yang mengukuhkan namanya yang sekarang melalui tradisi “ujar-ujar” yakni kepercayaan untuk mengganti nama bayi atau anak kecil yang sering rewel dan jatuh sakit. Itulah yang dialami Sintia saat usianya satu tahun, konon itu karena keberatan nama. “Jadilah kami ganti nama Indri Rahayu menjadi Sintia,” demikian Mak Rin, ibu Sintia menceritakan asal-usul nama putri tunggalnya.

Seperti anak-anak Ranupani lainnya, Sintia sudah dibawa ke kebun sejak usianya 40 hari. Jadi, bukan hal yang aneh jika anak-anak di sana merasakan sekolah kehidupan pertama sebagai orang Tengger di kebun. Mereka tumbuh dan bermain di kebun sembari mengamati rutinitas orang tuanya bekerja. Di usia 11 tahun, Sintia mulai mendapat kepercayaan dari orang tuanya untuk mengolah gaga (kebun). Ia sudah tahu bagaimana caranya menanam kentang, cabai gunung (lombok terong) dan bawang prei (bawang daun). Ia mengerjakan segala sesuatunya sendiri, mulai dari mencangkul, menanam, hingga panen dan menimbang hasilnya untuk dijual. Semua pengetahuan tersebut ia dapatkan dari orang tuanya melalui praktik langsung di kebun.

Sama seperti remaja yang lain, Sintia juga gemar olahraga dan berkumpul dengan teman-temannya. Ia dikenal sebagai anggota tim voli putri, juga aktif di kelompok rebana atau terbangan Nurul Qolbi yang berkumpul setiap hari Minggu.

Sintia sudah lulus SMP Satu Atap Ranupani tahun lalu. Orang tuanya menawari untuk melanjutkan ke SMA di kota kecamatan Sendura atau Tumpang, karena tidak ada SMA di desa mereka. Namun Sintia enggan karena itu berarti ia harus meninggalkan kebunnya. Ia memilih untuk mengikuti Paket C saja. Kalau saja pelajaran di sekolah bisa mendukung praktik berkebunnya, mungkin Sintia akan lebih antusias melanjutkan sekolah.