Membaca Jagung

Teks: Aditya Dipta Anindita | Foto: Aditya Dipta A., Beatrix Gracella

Membaca Jagung

Penulis: Aditya Dipta Anindita | 29 Juli 2022

Sekilas aku mengingat lagu “Menanam Jagung” yang kukenal saat kecil dulu. “Ayo kawan kita bersama, menanam jagung di kebun kita. Ambil cangkulmu, ambil pangkurmu, kita bekerja tak jemu-jemu…” Demikian sepenggal syairnya. Belakangan, baru aku tahu bahwa lagu itu dibuat Ibu Sud di zaman pendudukan Jepang dan beras-beras dikirim untuk memenuhi kebutuhan perang Jepang. Karena itulah Ibu Sud menciptakan lagu ini sebagai ajakan untuk menanam jagung sebagai solusi kesulitan pangan.


Puluhan tahun setelahnya, aku mendengar keluhan guru-guru SD di Bayan, Lombok Utara yang kehilangan murid-murid saat musim tanam dan panen jagung tiba. Belum lagi kalau ada acara hajatan adat. Menurut mereka, salah satu penyebab anak-anak sulit bisa membaca adalah seringnya anak-anak tidak hadir di sekolah.


NTB sendiri merupakan provinsi penghasil jagung terbesar ke-6 dengan hasil lebih dari 1,6 juta ton dalam setahun. Saat melakukan asesmen ke Lombok Utara, memang terlihat kebun-kebun jagung di sepanjang perjalanan. Lalu, kenapa tidak memasukkan jagung menjadi proses pembelajaran di sekolah, termasuk dalam pembelajaran baca-tulis? Ini yang kemudian diupayakan oleh Sokola bersama guru-guru SD Akar Akar 1-7, Lombok Utara melalui Pelatihan Pengajaran Literasi Kontekstual yang berlangsung pada bulan Maret dan Juli tahun ini.


Pelatihan ini menghasilkan modul belajar literasi kontekstual yang langsung bisa digunakan oleh guru. Guru sendiri yang memilih tema modulnya. Selain jagung, tema lain yang dipilih untuk dijadikan modul belajar calistung kelas 1 adalah sapi, pasar, padi, kelapa, kopi, dan gotong royong.


Saat mereka mendiskusikan pertanyaan penilaian, ada yang mempertanyakan apakah bisa anak kelas 1 diminta menjelaskan kegunaan tanaman jagung. Tanpa ragu-ragu, seorang bapak guru menjawab, “Pasti bisa! Karena mereka melihat dan mengalami langsung proses jagung sejak dari benih hingga panen.”


Dalam hati kuteruskan lagunya, “Cangkul, cangkul, aku gembira. Menanam jagung di kebun kita.” Semoga setelah ini, anak-anak tidak dicap membolos ketika membantu orang tuanya di kebun jagung, melainkan sedang belajar dari para ahlinya.


NTB sendiri merupakan provinsi penghasil jagung terbesar ke-6 dengan hasil lebih dari 1,6 juta ton dalam setahun. Saat melakukan asesmen ke Lombok Utara, memang terlihat kebun-kebun jagung di sepanjang perjalanan. Lalu, kenapa tidak memasukkan jagung menjadi proses pembelajaran di sekolah, termasuk dalam pembelajaran baca-tulis? Ini yang kemudian diupayakan oleh Sokola bersama guru-guru SD Akar Akar 1-7, Lombok Utara melalui Pelatihan Pengajaran Literasi Kontekstual yang berlangsung pada bulan Maret dan Juli tahun ini.


Pelatihan ini menghasilkan modul belajar literasi kontekstual yang langsung bisa digunakan oleh guru. Guru sendiri yang memilih tema modulnya. Selain jagung, tema lain yang dipilih untuk dijadikan modul belajar calistung kelas 1 adalah sapi, pasar, padi, kelapa, kopi, dan gotong royong.


Saat mereka mendiskusikan pertanyaan penilaian, ada yang mempertanyakan apakah bisa anak kelas 1 diminta menjelaskan kegunaan tanaman jagung. Tanpa ragu-ragu, seorang bapak guru menjawab, “Pasti bisa! Karena mereka melihat dan mengalami langsung proses jagung sejak dari benih hingga panen.”


Dalam hati kuteruskan lagunya, “Cangkul, cangkul, aku gembira. Menanam jagung di kebun kita.” Semoga setelah ini, anak-anak tidak dicap membolos ketika membantu orang tuanya di kebun jagung, melainkan sedang belajar dari para ahlinya.