Rimba Rumah Kami: Memperjuangkan Tempat Tinggal, Sumber Penghidupan, dan Akar Identitas

Penulis: Dewi Mulyani Setiawan | Foto: dok. Sokola, Dewi Mulyani Setiawan 

Rimba Rumah Kami: Memperjuangkan Tempat Tinggal, Sumber Penghidupan, dan Akar Identitas

Penulis: Dewi Mulyani Setiawan | 5 September 2022

Apa jadinya jika masyarakat adat yang tak jarang menjadi ujung tombak perlindungan hutan diusir atas nama perlindungan hutan itu sendiri? 

Dalam rentang waktu 2006-2019, KMB menjadi motor advokasi Orang Rimba di Makekal Hulu, Hutan Bukit Duabelas. Mereka bergerak melakukan berbagai upaya untuk melawan kebijakan konservasi yang ekofasis. Perjuangan ini pada akhirnya melahirkan kesepakatan bersama yang memberikan Orang Rimba hak untuk mengelola Hutan Bukit Duabelas secara kolaboratif dengan pemerintah.






















Awal tahun 2020. Tak jauh dari Ruma Pelajoron Simpang Meranti, Mijak Tampung bercerita tentang buku Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bukit Duabelas (RPTNBD) yang diterima para bujang pada tahun 2004. Seperti tertera pada judulnya, buku ini berisi detail dari rencana tata kelola yang akan diterapkan di kawasan Hutan Bukit Duabelas, rumah dari ribuan Orang Rimba yang per tahun 2000 resmi beralih status menjadi taman nasional. “Ketika murid-muridnya Butet yang senior seperti saya membaca (RPTNBD tersebut), ini tidak sesuai dengan peraturan adat.…” ujar Mijak.

Dalam RPTNBD, dijelaskan bahwa kawasan Hutan Bukit Duabelas akan dibagi menjadi beberapa zona. Yang memantik kemarahan, zona-zona ini bukan hanya tidak mengindahkan sistem tata kelola hutan Orang Rimba yang membagi ruang-ruang di dalamnya berdasarkan karakteristik dan fungsi adat, tetapi juga akan memaksa Orang Rimba yang hidup menyebar di berbagai penjuru Hutan Bukit Duabelas untuk pindah ke satu zona yang sudah ditetapkan secara sepihak.

Lebih jauh lagi, RPTNBD juga memuat pernyataan bahwa penyediaan ruang hidup dan penghidupan Orang Rimba di bawah naungan TNBD hanya bersifat sementara. Mereka akan didorong untuk menjalankan pola hidup seperti “masyarakat pada umumnya” agar tidak bergantung pada hutan sebagai tempat hidup dan sumber penghidupan mereka di kemudian hari.

Pengusiran. Penyingkiran. Penggusuran. Entah mana istilah yang paling tepat. Yang pasti, para bujang memilih untuk melawan.

Bergerilya Memperjuangkan Hak-haknya

Maka sepanjang tahun 2006 (sejak dibentuknya Kelompok Makekal Bersatu atau KMB) hingga 2019, para bujang mendedikasikan waktu dan tenaganya untuk memperjuangkan tempat tinggal, sumber penghidupan, serta akar dari identitas mereka dengan mendorong tata kelola hutan yang lebih inklusif dan akomodatif. “(Kami) bukan menolak taman nasionalnya, tapi menolak sistem taman nasional, sistem perlakuan hukum di dalamnya, itu yang kita tolak. Bahwa bolehlah ada taman nasional ini, tapi diakui juga adat Orang Rimba,” imbuh Mijak.

Paraara bujang melalui KMB mengadvokasikan hak-hak Orang Rimba dengan dukungan dari sejumlah organisasi pendamping. Sebagaimana gerakan pada umumnya, KMB pun mengawali perjuangannya dengan melakukan konsolidasi. “Waktu itu (tahun 2006), ada sekitar 12 ketumenggungan (dari seluruh Bukit Duabelas) yang kita undang, membuat konsolidasi Orang Rimba, lalu menyepakati bahwa KMB harus bergerak untuk melakukan perjuangan ini,” ujar Pengendum.

Setelah itu, eskalasi gerakan mulai meningkat. Mijak bercerita, “Kita aksi besar-besaran di Kantor Gubernur, terus di DPRD Provinsi, dan di kantor Dinas Kehutanan (BKSDA Jambi). Itu jadi sasaran kita di tahun-tahun itu untuk menyampaikan harapan Orang Rimba.” Sayangnya, demonstrasi tersebut tidak membuahkan hasil yang diinginkan sehingga KMB harus bergerilya dengan cara-cara lainnya, mulai dari melakukan kampanye sampai dengan pemetaan partisipatif, sembari terus berdialog dengan para pemangku kepentingan, baik di daerah maupun di pusat. 

Mencari Titik Temu, Menuju Titik Terang

Dalam ilmu politik, perjuangan yang dilakukan oleh KMB untuk memengaruhi kebijakan zonasi Taman Nasional Bukit Duabelas adalah sebuah bentuk aktivisme politik sebagaimana dikemukakan Pippa Norris dalam teorinya. KMB sendiri berperan sebagai agensi, yakni sarana mobilisasi dan ekspresi politik Orang Rimba. Dalam kategorisasi yang dibuat oleh Norris, KMB masuk dalam kategori agensi modern karena sifat, kultur, struktur, dan relasi organisasnya yang tidak kaku, serta strateginya yang menggabungkan citizen-oriented repertoires seperti melakukan lobi dan cause-oriented repertoires seperti melakukan demonstrasi. Sedangkan pergerakannya bersifat state-oriented karena berusaha untuk memengaruhi aktor negara beserta proses perumusan kebijakan di dalamnya, salah satunya melalui Kantor Staf Presiden (KSP).

Perjuangan KMB akhirnya mendapatkan perhatian dari KSP pada tahun 2018. Momennya tak terpaut jauh dengan penunjukkan Kepala Balai TNBD yang baru, yang menurut Mijak dan Pengendum lebih terbuka dan mau mendengarkan tuntutan Orang Rimba. Momentum ini dimanfaatkan dengan baik oleh para bujang di KMB hingga akhirnya pada pertemuan 1 September 2018, tercapai sebuah kesepakatan bersama untuk memadukan zonasi taman nasional dengan aturan adat Orang Rimba. Kesepakatan bersama ini adalah titik temu sekaligus titik terang yang telah lama ditunggu. 

Keberhasilan KMB juga tidak dapat dilepaskan dari dukungan penuh dari penghulu (pemimpin adat) dan rerayo (orang dewasa) di Makekal Hulu, serta Sokola dan Cappa sebagai organisasi pendamping beserta jaringan yang yang dimiliki KMB. Selain menjadi keberhasilan Orang Rimba dalam memperjuangkan tempat tinggal, sumber penghidupan, serta akar identitasnya, kesepakatan bersama ini juga menunjukkan bahwa kolaborasi antara masyarakat adat dan negara dalam pengelolaan hutan adalah sesuatu yang mungkin dilakukan dan layak untuk dipertimbangkan di taman nasional dan kawasan-kawasan lainnya. 

Pada akhirnya, perjuangan yang dilakukan KMB merupakan salah satu cara Orang Rimba untuk bertahan dan mempertahankan apa yang mereka punya di tengah arus perubahan yang terus mengancam keberadaannya. Perjuangan ini lagi-lagi menunjukkan bahwa Orang Rimba, juga masyarakat adat pada umumnya, adalah entitas yang berdaya.