Panen Padi
di Laboya Dete
Penulis: Fadilla M. Apristawijaya | Foto: Fadilla M. Apristawijaya, Jefri Davidson Amakia, Yonatan Bulang
Panen Padi di Laboya Dete
Penulis: Fadilla M. Apristawijaya | 28 Februari 2022
Bulan ini sudah masuk Bulan Pasola di Sumba Barat. Musim hujan belum selesai, tapi sudah ada beberapa sawah yang sudah masuk masa panen. Guru-guru Hakola Huba diajak ikut kegiatan panen di salah satu sawah warga. Di sana, kami menyaksikan perempuan–dari yang muda sampai yang tua–semuanya menyumbang tenaga. Tugas utama perempuan adalah memotong padi dan memasak di rumah kebun, juga menjaga anak-anak kecil yang sibuk bermain sambil mengumpulkan kabala (belalang sawah). Sementara itu, anak laki-laki, pemuda dan laki-laki dewasa bergantian menggotong padi dari sawah ke tempat padi akan dirontok. Semua berpartisipasi tanpa pamrih. Proses panen di Desa Laboya Dete ini dilakukan dengan semangat hawada, bergotong royong, secara bergantian dari satu sawah ke sawah lain. Kali ini giliran sawah keluarga Mama Leha.
Siang datang menjelang. Memasuki tengah hari, semua beristirahat dan makan bersama. Anak-anak perempuan usia Sekolah Dasar berhenti bermain sejenak untuk membantu membagikan makanan. Mereka juga membantu membereskan piring-piring. Dan saat orang tua kembali ke sawah, anak-anak ini pun lanjut mencari belalang hingga kaligi atau tempat mereka menyimpan belalang itu penuh.
Menjelang sore, sekitar pukul setengah lima, beberapa anak laki-laki dan para pemuda sigap memanjat pohon kelapa untuk menjadi pelepas dahaga orang-orang yang bekerja. Air dan daging kelapa menjadi kudapan sore yang segar. Padi telah selesai dipanen, tinggal menanti mesin perontok padi datang, dipanggul oleh bapak-bapak dari tempat penyimpanannya. Para perempuan juga mulai menyiapkan kembali makan malam. Semua orang memiliki peran dalam proses panen hari itu. Laki-laki dan perempuan, tua, muda, juga anak-anak. Semua bersuka cita, bersenda gurau, berbagi cerita, sambil memotong padi atau di sela-sela kesibukan angkat padi.
Saya melihat anak-anak yang terampil menjalankan perannya, mulai dari menggunakan pisau, sabit, katopo (parang), memanjat kelapa, membaca tanda-tanda alam, hujan, angin, sungai, dan tanah yang menjadi ekosistem tempatnya bermain dengan sangat baik. Anak-anak yang mencari belalang, tidak tanpa pengetahuan. Mereka tahu di mana dan bagaimana ekosistem belalang tumbuh berkembang. Mereka tahu proses pertumbuhan belalang sawah. Mereka memahami mekanisme gerak belalang dengan baik sehingga dengan tangan kosong mereka dapat sigap mengumpulkan puluhan belalang, melumpuhkannya dan menyiapkannya untuk kudapan malam nanti.
Sedini mungkin mereka belajar tentang proses memelihara padi, mengenal ekosistem, mekanisme bertanam, merawat, dan memanen padi. Mereka mewarisi sikap hawada dengan keterlibatannya. Di sisi lain, sistem persekolahan yang menghegemoni masih percaya bahwa keterlibatan anak-anak pada kegiatan pertanian orang tuanya dianggap tidak berguna, tidak berilmu, menyesatkan, dan menjadi penyebab nilai sekolah yang rendah. Kerap kali masih saya dengar ucapan semacam ini, "Kesadaran orang tua masih kurang terhadap pendidikan anak-anaknya." Saat ditanya apa maksudnya, sering mereka menjelaskan, "Masih banyak orang tua yang tidak mengingatkan anaknya untuk mengulang pelajaran di rumah, malah mengajak bekerja di sawah, ladang, dan di kebun."
Padahal, kalau saja sekolah membicarakan tentang bukit, ladang, dan sawah tempatnya tumbuh dan bermain, atau tentang bagaimana menumbuhkan padi, ketela, cabai, dan masih banyak lagi, atau bahkan tentang bagaimana cara mesin perontok padi bekerja, saya yakin mereka akan punya nilai belajar yang lebih baik ketimbang membicarakan tentang bermain sepeda yang tidak pernah mereka gunakan, atau mengumpulkan kliping koran yang tidak beredar di kampungnya.
Apakah pendidikan formal seperti ini yang kita wajibkan lewat undang-undang yang baru? Semoga saja bukan.
Saat ini kita masih membutuhkan pendidikan di luar sistem persekolahan yang sibuk membicarakan sistem global tapi jauh dari konteks lingkungan dan kehidupan anak-anak tinggal. Agar kecakapan setempat ini dapat berkembang dan tidak mati. Karena hilangnya kecakapan setempat ini, tentu akan berdampak pada hilangnya ekosistem belalang, matinya mata air dan sungai yang menghidupi sawah, ladang dan kebun mereka, serta gugurnya kekuatan pangan kita.
#keadilanpendidikanbagiseluruhanakindonesia #sokolainstitute
Foto: Fadilla M. Apristawijaya
Foto: Nathan