Sebutan Minim Empati

Penulis: Taufik Hidayat | Foto: Taufik Hidayat, Jefri Davidson Amakia, Melak Sunting

Sebutan Minim Empati

Penulis: Taufik Hidayat | 29 April 2022

Orang Rimba sejatinya ialah mereka yang hidup selaras dengan alam, menjalani berbagai masa pertumbuhan dan pembelajaran yang alami dan secara otomatis membentuk diri yang mampu hidup damai di alam bebas. Orang Rimba jelas tidak bergantung pada asas-asas modern seperti orang luar dalam menjalani kehidupan sehari-hari, tidak melihat arah dengan kompas melainkan peta langit, tidak merusak hutan demi kepentingan mereka, dan selalu bersikap romantis dengan alam, rumah mereka.


Dari berbagai aspek, kita jelas memiliki perbedaan dalam memandang makna dan cara hidup. Perbedaan yang ada tersebut menghadirkan istilah Kubu terhadap Orang Rimba, yang hingga sekarang masih amat lekat. Proses diskriminatif ini dapat dilihat dari perlakuan dan pandangan orang luar terhadap Orang Rimba, tatapan yang merendahkan, hingga aksi tutup hidung di saat berpapasan dengan Orang Rimba.


Sekarang, istilah Kubu semakin tidak manusiawi kurasa, dimaksudkan sesuatu yang bodoh, kotor, miskin, tidak mengerti sopan santun, tidak beragama, dan primitif. Kata Kubu acap kali digunakan oleh orang luar sebagai ejekan terhadap Orang Rimba, terhadap berbagai perbedaan akan kebiasaan menjalani hidup, “memang kubu!”, “dasar kubu!” begitulah biasanya kosakata yang dilontarkan orang luar saat melakukan interaksi yang tidak lancar dengan Orang Rimba

Orang Rimba sejatinya enggan disebut Kubu, karena mereka paham betul istilah tersebut memiliki arti yang tidak baik, kata yang dimaksudkan sebagai ejekan. Dengan berbagai perbedaan dan cara hidup dengan orang luar mereka menyebut kelompok mereka dengan sebutan “Orang Rimbo


Tidak seperti orang luar, mereka berpegang teguh dengan kebiasaan dan budaya yang diwariskan leluhur, yaitu hidup selaras dengan alam. Beberapa waktu yang telah kami habiskan bersama Orang Rimba menjelaskan banyak hal yang tidak sepatutnya kita orang luar anggap remeh dan bodoh. Orang Rimba paham betul bagaimana caranya hidup dan menjaga keseimbangan alam, menghormati dewa mereka dengan sangat, dan memegang teguh berbagai peraturan adat dengan penuh tanggung jawab. Hal ini jelas berbeda dengan kebanyakan kita orang luar. Betapa pendeknya pola pikir kita sebagai orang yang mengaku lebih terpelajar jika kita masih menggunakan kata Kubu sebagai ejekan terhadap Orang Rimba yang jelas bukanlah kaum yang bodoh dan terbelakang hanya karena menjalani kebiasaan dan cara hidup yang berbeda.


Sebutan Kubu ini merupakan bentuk kekerasan verbal yang lambat laun akan mempengaruhi pola pikir dan tingkat kepercayaan diri Orang Rimba terkhususnya anak-anak Rimba. Hal ini membawa dampak buruk terhadap perkembangan psikis anak-anak Rimba yang merasa terasingkan dan begitu berbeda dengan orang luar.


Beberapa anak Rimba pernah menyatakan bahwa kata Kubu menjadikan mereka marah dan sedih dalam satu waktu yang bersamaan. Marah karena sikap tidak baik yang mereka dapat dan sedih karena tidak banyak yang bisa dilakukan untuk memperbaiki hal yang telah lama terpatri dalam pikiran orang luar mengenai kata Kubu dan Orang Rimba.


Marah, tidak suka, dan terlebih rasa minder mencuat ke permukaan di saat kata Kubu terdengar oleh telinga mereka. Hal ini menjadikan anak-anak Rimba tidak percaya diri dengan identitasnya dan malah berusaha meniru budaya orang luar hanya agar tidak lagi dilabeli Kubu.


Kekejaman orang luar dengan perlakuan mereka terhadap Orang Rimba bukan perkara enteng yang bisa di anggap angin lalu. Krisis identitas dan berbagai hal negatif lainnya akan semakin mudah melunturkan kepercayaan diri anak-anak Rimba. Apalagi kondisi hutan sekarang dan perkembangan zaman mengharuskan Orang Rimba lebih acap menjamah dunia luar untuk menjual hasil tanam atau membeli kebutuhan lainnya. Semakin terpapar jelas, semakin banyak lirikan, tindakan, dan ucapan yang menyinggung perasaan Orang Rimba. Ketidakpekaan kita seperti pantas dilabeli kaum minim empati.