Lempar Kaboya

Penulis dan Foto: Yonatan Bulang

Lempar Kaboya

Penulis: Yonatan Bulang | 4 Maret 2022

Usai mandi, saya menyalakan motor. Sore itu saya berencana mengambil beberapa foto di atas Kampung Adat Hodana, Desa Laboya Dete, Sumba Barat. Posisi kampung adat yang berada di ketinggian menawarkan sensasi pemandangan yang eksotis. Lekukan bukit-bukit hijau, hamparan sawah yang hijau, serta lekukan sungai besar yang melintasi kecamatan Lamboya hingga bermuara ke laut lepas. Di ujung selatan, terlihat lautan biru dan terdengar gemuruh ombak seolah bernyanyi ria. Ilalang liar menari dengan anggun gemulai ketika diterpa angin sore.


Motor Shogun tua saya meraung-raung melewati tanjakan bebatuan lepas. Tiba di jalan yang agak datar, saya mendengar riuh rendah suara anak-anak di padang sabana. Saya membelokkan motor dan menyusuri sabana tersebut. Anak-anak langsung berteriak, "Pak Natan... Woi, Pak Natan... Mai nimmi (datang sini)!"


Mereka adalah murid-murid Hakola Humba yang sering belajar bersama kami. "Malai-malai...(lari-lari)," kata Bayu. "Woi... Tukkui (lempar)," kata Lendi.


Saat itu, matahari sudah hendak bersembunyi di balik bukit. Tawa anak-anak memecah keheningan. Dengan kaki telanjang tanpa alas, mereka berlarian di padang sabana yang luas beralaskan rerumputan hijau bagai lapangan golf. Mereka bermain lempar-lemparan kaboya yaitu sejenis umbi liar. Mereka membagi diri menjadi dua kelompok, peserta campur baik laki-laki maupun perempuan. Kedua kelompok ini saling berhadapan dan saling melempar kaboya. Saling berkejaran dan saling lempar diselingi tawa riang, menjadi menjadi kebahagian tak terbeli bagi mereka.


Saya agak waspada, jangan sampai permainan ini menimbulkan cedera atau bahkan melukai. Saya minta satu umbi kaboya yang dipegang Lendi. Bentuknya bulat sebesar ibu jari kaki, teksturnya seperti kentang. Saya bertanya pada Lendi, apa ini tidak menyebabkan cedera. Lendi menegaskan bahwa tidak akan menyebabkan cedera karena umbi kaboya tidak keras, apalagi saling lemparnya dari jauh. "Kami biasa bermain ini," kata Lendi sembari duduk di atas tanah lapang karena ternyata mereka sudah mengakhiri permainan.


Lendi terus bercerita bahwa setiap sore ia selalu bermain bersama teman-temannya di Hodana, salah satunya permainan saling lempar umbi kaboya. Terkadang ia dan teman-temannya bermain sambil menjaga kerbau-kerbau karena orang tua mereka sibuk bekerja di ladang dan sawah. Setelah matahari hendak bersembunyi di balik bukit, kata Lendi sambil menunjuk ke arah barat, barulah mereka bubar dan pulang ke rumah untuk membantu orang tua. Ada yang pulang sambil membawa kayu mati ke rumah, ada yang menarik kuda sambil menjunjung rumput buat makan kuda pada malam hari, dan terkadang mereka menggiring beramai-ramai kerbau ke kampung sambil naik di atas punggung kerbau. “Yah, begitulah,” kata Lendi sambil bangun dan berlari menyusuri padang sabana, menyusul teman-temannya. Ia ditinggal karena kami tadi keasyikan bercerita dan tidak sadar kalau matahari segera berlabuh pada malam.


Foto: Yonatan Bulang

Foto: Yonatan Bulang